Bogor – analisasiber.com – Dalam dinamika dunia kepolisian Indonesia, satu pertanyaan krusial kembali mencuat: apakah masa jabatan Kapolri yang panjang merupakan berkah atau justru bencana bagi institusi Polri?
Di tengah pusaran tarik-menarik antara kepentingan politik dan tuntutan profesionalisme, polemik ini menjadi sorotan publik. Apakah seorang Kapolri dengan masa jabatan panjang dapat membawa stabilitas dan kemajuan? Atau justru akan terjebak dalam belenggu kepentingan politik yang berisiko menggerus independensi institusi?
Antara Stabilitas dan Ketergantungan
Dari satu sisi, masa jabatan yang panjang memberikan ruang bagi kesinambungan program serta reformasi kelembagaan. Dengan akumulasi pengalaman dan pemahaman mendalam terhadap struktur internal, seorang Kapolri yang menjabat lama bisa lebih efektif dalam merealisasikan visi dan misi strategis. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur tugas, fungsi, dan kewenangan Polri.
Namun dari sisi lain, terlalu lamanya masa jabatan dapat memicu persepsi negatif, seolah institusi kepolisian menjadi alat kekuasaan. Relasi yang terlalu dekat dengan elite politik berpotensi melemahkan objektivitas dan profesionalisme. Padahal, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa presiden memang memiliki kekuasaan eksekutif tertinggi, tetapi ini tidak boleh mengarah pada subordinasi institusi Polri terhadap kepentingan politik praktis.
Seleksi yang Transparan, Bukan Sekadar Loyalis
Permasalahan utama sebenarnya bukan terletak pada durasi jabatan, melainkan pada mekanisme seleksi dan pengangkatan Kapolri. Idealnya, proses ini dilakukan secara profesional, transparan, dan berbasis kompetensi. Pasal 8 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 menegaskan bahwa Kapolri harus memiliki integritas tinggi, profesionalisme, serta kemampuan manajerial yang mumpuni.
Dengan demikian, siapapun yang menduduki jabatan Kapolri, ia benar-benar merupakan sosok terbaik yang lahir dari meritokrasi, bukan sekadar karena kedekatan dengan kekuasaan.
Akuntabilitas dan Pengawasan: Pilar Keseimbangan
Tak kalah penting adalah penguatan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas terhadap kinerja Kapolri. Dalam hal ini, peran legislatif melalui DPR RI menjadi sangat vital. Pasal 69 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menegaskan bahwa DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap eksekutif, termasuk dalam mengawal profesionalitas Polri. Sementara itu, Pasal 31 UU No. 2 Tahun 2002 juga mengatur tentang pengawasan internal dan eksternal terhadap pelaksanaan tugas kepolisian.
Kapolri harus tetap bertanggung jawab kepada publik. Setiap bentuk penyimpangan kekuasaan, intervensi politik, atau penyalahgunaan wewenang harus mendapat respon tegas melalui mekanisme yang telah disediakan.
Penutup: Menjaga Profesionalisme di Tengah Gelombang
Dengan mempertimbangkan seluruh aspek, jelas bahwa panjang atau pendeknya masa jabatan Kapolri bukanlah persoalan utama. Yang lebih esensial adalah memastikan proses pemilihan yang akuntabel dan pengawasan yang efektif, agar institusi Polri tetap menjadi penegak hukum yang profesional, independen, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Di tengah kompleksitas dinamika politik dan tuntutan reformasi institusi, Polri harus tetap berdiri tegak sebagai penjaga hukum dan pelindung masyarakat, bukan sebagai alat kekuasaan.
Oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)
Jurnalis Pewarna Indonesia : Sumber
Editor&Penerbit : Yudi Sayuti
Komentar