Sorong, analisasiber.com, – Dalam penyesalan yang sangat emosional, warga Papua di seluruh Indonesia menyuarakan kemarahan atas pembakaran sejumlah besar Mahkota Cenderawasih, mahkota penutup kepala yang dihiasi bulu Burung Cendrawasih, baru-baru ini oleh otoritas konservasi di Merauke, Provinsi Papua Selatan. Tindakan tidak beradab yang dilakukan pada 15 Oktober 2025 oleh petugas BBKSDA Papua bersama sejumlah orang berpakaian TNI, Polri, dan ASN, ini semula dimaksudkan sebagai tindakan tegas pelarangan perdagangan satwa liar ilegal. Namun bagi orang Papua, tindakan tersebut merupakan penodaan warisan budaya dan serangan terhadap symbol identitas mereka.
Di antara Orang Asli Papua (OAP) yang paling vokal adalah Robert George Julius Wanma, anggota DPR Papua Barat Daya. Mewakili masyarakat adat Raja Ampat, Robert Wanma mengutuk insiden tersebut sebagai penghinaan terang-terangan terhadap martabat orang Papua.
“Pemerintah Indonesia selama ini memperlakukan kami orang Papua seolah-olah tidak berharga di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya kesal dalam sebuah pernyataan publik, Sabtu, 25 Oktober 2025.
Dengan nada keras, Robert Wanma juga mengatakan bahwa kekayaan alam Papua sudah dijarah habis-habisan oleh Indonesia, dan sekarang mereka menginjak-injak harga diri dan martabat orang Papua dengan semena-mena membakar lambang identitas mereka, Mahkota Cenderawasih. “Mereka telah merampas hutan kami, tanah kami, kekayaan alam kami—dan sekarang mereka menginjak-injak kehormatan kami orang Papua,” sebutnya.
Kemarahan Anggota DPR Papua Barat Daya utusan dari Kabupaten Raja Ampat itu mencerminkan sentimen yang lebih luas di kalangan masyarakat Papua yang memandang pembakaran mahkota bukan hanya sebagai tindakan melanggar hukum, tetapi juga sebagai pelanggaran budaya. Burung Cenderawasih, yang sering disebut burung paradise, memiliki makna spiritual dan seremonial yang mendalam dalam tradisi Papua. Mahkota yang terbuat dari bulunya dikenakan dalam ritual sakral, melambangkan rasa hormat, kepemimpinan, dan hubungan manusia dengan leluhur dan alam semesta.
Kecaman keras ini telah memicu tuntutan pertanggungjawaban. “Saya meminta Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, agar serius menanggapi masalah ini, semua pelaku yang terlibat harus dihukum. Dari kalangan TNI/Polri dan ASN harus dipecat dan diberi sanksi dipenjarakan,” tegas Robert Wanma.
Para tokoh masyarakat, aktivis, dan anggota Dewan Adat Papua menyerukan agar mereka yang bertanggung jawab diadili. “Ini bukan hanya tentang bulu burung Cenderawasih,” kata seorang tetua dari Boven Digoel. “Ini tentang jiwa kami, harga diri kami, tempat kehidupan kami di negara ini.”
Insiden ini telah memicu kembali ketegangan yang telah berlangsung lama antara Pemerintah Pusat dan masyarakat Papua, yang telah lama merasa terpinggirkan dan dieksploitasi. Para kritikus berpendapat bahwa upaya konservasi harus diimbangi dengan kepekaan budaya dan hak-hak masyarakat adat.
“Kita tidak bisa melindungi alam dengan melenyapkan orang-orang yang hidup selaras dengannya,” kata tokoh Pemuda Papua, Sem Gombo, dari Jayapura, Provinsi Papua.
Seiring protes yang terus berlanjut dan seruan keadilan yang semakin keras, pembakaran Mahkota Cendrawasih mungkin akan menjadi titik balik, yang memaksa Pemerintah Indonesia untuk menghadapi luka yang lebih dalam dari hubungannya dengan Papua. Apakah Pemerintah akan merespons dengan semestinya atau diam saja, masih harus dilihat beberapa waktu ke depan. (TIM/Red)




















Komentar