Kabupaten Tangerang – analisasiber.com – Sebuah usaha minyak goreng curah yang beroperasi di Ruko Jalan Jayanti, Kabupaten Tangerang, diduga ilegal. Minyak goreng curah tersebut dikemas ulang dalam botol plastik berlabel berbagai merek tanpa izin resmi. Aktivitas ini menjadi sorotan masyarakat dan aktivis sosial karena berpotensi melanggar aturan peredaran pangan dan merugikan konsumen.
Dugaan Pelanggaran dan Modus Operasi
Berdasarkan hasil investigasi tim media dan aktivis, usaha ini beroperasi di salah satu ruko samping Pospol Jayanti, Jalan Raya Jayanti-Serang. Tim menemukan bahwa minyak goreng curah disuplai menggunakan mobil tangki yang menyalurkan minyak melalui selang panjang ke dalam tangki penyimpanan di ruko tersebut. Selanjutnya, minyak tersebut dikemas ulang dalam botol plastik berukuran kurang dari satu liter dan dijual bebas di masyarakat dengan berbagai merek.
Aktivis yang disapa AB mengungkapkan bahwa izin usaha tersebut ternyata terdaftar di Kota Depok, Jawa Barat, bukan di Kabupaten Tangerang, Banten. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai legalitas operasionalnya.
“Kami telah mendatangi lokasi dan melakukan investigasi. Saat kami konfirmasi kepada seseorang berinisial IW, yang diduga sebagai pemilik usaha, dia menyebut bahwa dokumen izin usahanya berasal dari Depok. Padahal, usaha ini beroperasi di Banten. Ini harus disikapi tegas oleh pihak berwenang,” ujar AB.
Berpotensi Langgar Hukum, Perlu Penindakan Tegas
Usaha minyak goreng curah yang dikemas ulang menjadi kemasan botol harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti uji laboratorium bahan baku, verifikasi BPOM, izin merek dagang (HAKI), sertifikat halal dari MUI, sertifikasi ISO, serta izin distribusi dan penjualan resmi. Jika tidak memenuhi standar ini, maka produk yang diedarkan berpotensi membahayakan konsumen.
Kasus ini menarik perhatian insan pers dan aktivis yang mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak. Jika terbukti melanggar, pelaku usaha dapat dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 8 dan 62, dengan ancaman pidana penjara maksimal 2 tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Para aktivis berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga tuntas agar tidak ada praktik ilegal yang merugikan masyarakat. Mereka berharap pihak berwenang segera melakukan pengecekan perizinan dan menindak tegas jika ditemukan pelanggaran hukum.
Redakasi Banten.
Komentar