oleh

Desa Sialagundi Sipirok Diresmikan Sebagai Desa Toleransi 2025, Tapi Realitas di Lapangan Dipertanyakan

banner 468x60

Desa Sialagundi Sipirok Diresmikan Sebagai Desa Toleransi 2025, Tapi Realitas di Lapangan Dipertanyakan

ANALISASIBER.COM. Sipirok, 3 Juli 2025 – Pemerintah secara resmi mengukuhkan Desa Sialagundi di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, sebagai Desa Toleransi Tahun 2025. Acara peresmian yang berlangsung di Kantor Desa Sialagundi tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat, aparat pemerintah, dan unsur Forkopimda, sebagai bagian dari upaya strategis dalam mendorong nilai-nilai hidup rukun, saling menghargai, dan memperkuat kebhinekaan di tingkat desa.

banner 336x280

Namun, di tengah gegap gempita seremoni tersebut, muncul catatan kritis dari salah satu aktivis LSM Penjara Sumut, Fanani Dalimunthe, ST, yang mempertanyakan kesesuaian antara predikat yang disematkan dengan kondisi nyata di lapangan.

“Toleransi adalah nilai luhur yang sangat penting dan patut dipupuk bersama. Tapi jika dijadikan program, apalagi sampai disematkan sebagai gelar bagi suatu desa, maka mestinya implementasinya benar-benar tampak dan terasa. Jangan sampai hanya menjadi program simbolik tanpa isi, apalagi sekadar kegiatan seremonial belaka tanpa bukti dan substansi yang kuat,” ujar Fanani saat dimintai tanggapannya, Jumat (4/7/2025).

Fanani bahkan secara gamblang menyebut bahwa kondisi sekitar lokasi acara justru menunjukkan hal sebaliknya. Ia menyoroti bahwa tepat di halaman kantor desa — tempat berlangsungnya kegiatan bertema toleransi — justru terlihat tidak terurus dan tertutup oleh kandang ayam milik warga. Hal ini menurutnya mencerminkan lemahnya komunikasi dan pengelolaan sosial antara aparat desa dan warga sekitar.

“Lihat saja, kantor desa saja tertutup kandang ayam. Itu jelas mengganggu akses dan tampilan ruang publik. Ini bukan sekadar soal kebersihan atau estetika, tapi mencerminkan hubungan sosial yang belum sehat. Jika pemerintah desa tidak mampu membina hubungan yang harmonis bahkan di lingkungannya sendiri, bagaimana mungkin nilai-nilai toleransi bisa ditanam dan berkembang dengan baik di masyarakat luas?” tambahnya dengan penekanan.

Fanani menyayangkan bahwa program-program bernuansa kebijakan moral seperti Desa Toleransi sering kali berhenti di tataran simbolis, tanpa disertai upaya konkret dan berkelanjutan. Ia berharap agar pencanangan tersebut tidak hanya menjadi ajang seremonial semata, melainkan juga momentum reflektif untuk benar-benar melakukan pembenahan sosial, memperkuat komunikasi antarwarga, dan menghidupkan kembali nilai gotong royong serta saling menghargai dalam kehidupan sehari-hari.

“Toleransi tidak lahir dari spanduk atau seremonial semata, melainkan dari sikap nyata, perhatian terhadap sesama, dan pengelolaan ruang hidup yang saling menghargai. Jika kantor desa saja tidak menjadi contoh, bagaimana warga bisa meneladani?” pungkasnya.

Peristiwa ini menjadi pengingat penting bahwa keberhasilan suatu program tidak ditentukan dari seremoni peresmiannya, tetapi dari bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan secara nyata dan konsisten dalam kehidupan masyarakat. Predikat “Desa Toleransi” seharusnya tidak menjadi gelar semata, tetapi menjadi cermin dari perilaku sosial yang penuh penghormatan, kepedulian, dan kesadaran kolektif akan pentingnya hidup dalam keberagaman.

Penulis: Fii Siregar

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed