JAKARTA-| ANALISASIBER.COM – Fenomena “uka-uka,” atau sertifikasi uji kompetensi wartawan, menjadi sorotan di tengah polemik yang berkembang di dunia jurnalisme Indonesia. Isu ini memicu berbagai tanggapan karena dianggap sebagai penghalang akses informasi dan kolaborasi pemberitaan, terutama bagi wartawan independen.
Kewajiban Sertifikasi yang Diperdebatkan
Banyak wartawan mengeluhkan bahwa keharusan memiliki sertifikat uji kompetensi justru membatasi kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU ini, tidak ada dasar hukum yang menyebutkan kewajiban sertifikasi untuk menjalankan profesi jurnalisme. Namun, beberapa lembaga dan pejabat tetap menjadikan “uka-uka” sebagai syarat formal bagi wartawan untuk mendapatkan akses informasi.
Polemik Pengelolaan Sertifikasi
Sertifikasi ini tidak jarang dikaitkan dengan dugaan penyimpangan, seperti penyalahgunaan dana publik oleh oknum yang memanfaatkan sistem ini. Bahkan, sertifikasi “uka-uka” dituding menjadi alat pelindung bagi pihak tertentu untuk menghindari sorotan media independen.
Profesionalisme Tanpa Sertifikasi
Menariknya, banyak jurnalis profesional yang diakui masyarakat, seperti Karni Ilyas atau Najwa Shihab, membuktikan bahwa portofolio dan kualitas kerja lebih penting daripada selembar sertifikat. Sementara itu, pewarta warga, kreator konten, dan youtuber juga mampu menghasilkan karya jurnalistik bermutu tanpa harus bergantung pada sertifikasi formal.
Kesimpulan
Fenomena “uka-uka” menunjukkan perlunya evaluasi terhadap praktik sertifikasi wartawan agar tidak bertentangan dengan semangat kebebasan pers. Pemahaman yang lebih baik mengenai regulasi dan profesionalisme jurnalisme diharapkan dapat menghilangkan ketergantungan pada mekanisme sertifikasi yang kontroversial ini.
Jika fenomena ini terus dibiarkan tanpa pembenahan, bukan tidak mungkin kredibilitas jurnalisme dan kepercayaan publik terhadap media akan semakin tergerus.
Red.Team Redaksi Banten
Tidak ada komentar