Banten.Analisasiber.com – kembali diguncang keresahan publik pasca Idulfitri 1446 H/2025, kali ini menyorot institusi strategis: Dinas Pariwisata Provinsi Banten. Dalam dua bulan terakhir, kepemimpinan Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas, Linda Rohyati Fatimah, dinilai stagnan, sarat manipulasi, dan praktik relasionalisme kekuasaan—bertolak belakang dengan semangat reformasi birokrasi yang mengedepankan meritokrasi.
Ketua Umum Perkumpulan Eks Napi, Tb. Delly Suhendar, menyoroti buruknya pengelolaan destinasi unggulan selama libur Lebaran 2025. “Alih-alih menjadi momen kebangkitan ekonomi, posko pengaduan Satpol PP mencatat 172 keluhan dari H+2 hingga H+5, mulai dari pungli parkir, tiket wisata melonjak 2–3 kali lipat, hingga kerusakan fasilitas MCK,” ungkapnya.
Menurut Delly, hal ini mencerminkan ketidakmampuan Plt. Kadispar dalam memitigasi risiko sosial dan pelayanan publik. “Tidak ada koordinasi nyata dengan Balawista, Pokdarwis, maupun aparat keamanan. Padahal sinergi lintas sektor adalah kunci tata kelola pariwisata berkelanjutan.”
Lebih lanjut, Delly membeberkan dugaan praktik jual nama dalam promosi jabatan. Seorang pejabat fungsional berinisial “Nk” diduga menjual pengaruh atas nama Gubernur terpilih Andra Sony demi posisi strategis. “Ini mencederai etika birokrasi dan menghapus prinsip kompetensi.”
Ia juga mengkritisi sikap Linda yang dinilai terlalu memberikan delegasi kepada dua figur internal, termasuk “Nk” dan “RH”, sehingga memicu stagnasi dan tertutupnya proses pemetaan SDM. “Birokrasi bukan ladang kompromi politis.”
Data mencatat, pada triwulan pertama 2025, kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD baru mencapai 3,2%, jauh dari target 8,5% sesuai RPJMD 2023–2026. Ini menandakan kegagalan strategi promosi dan minimnya inovasi layanan digital.
“Tragisnya, saat publik menanti evaluasi, justru muncul isu bahwa Linda akan diangkat sebagai Kadispar definitif. Jika ini benar, maka reformasi birokrasi telah dikalahkan oleh politik balas budi.”
Delly menegaskan, Gubernur Andra Sony harus menjawab: apakah promosi jabatan dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja atau skenario kekuasaan? “Kekacauan ini mengindikasikan absennya prinsip good governance yang seharusnya menjadi fondasi birokrasi.”
Ia menambahkan, pembiaran terhadap dugaan jual beli jabatan mencerminkan lemahnya pengawasan internal. “Gubernur harus tegas. Ini bukan semata soal pencopotan jabatan, tapi soal menjaga marwah birokrasi dan moral aparatur.”
Delly pun menutup pernyataannya dengan desakan tegas: “Rapot merah ini adalah alarm. Jika Gubernur Andra ingin meninggalkan jejak sebagai pemimpin bersih, bersihkan dulu Dinas Pariwisata dari kepemimpinan yang membebani. Saatnya mengembalikan jabatan publik pada kompetensi, bukan kedekatan.”
Redaksi : Kaperwil Banten.
Tidak ada komentar