BITUNG, ANALISASIBER.COM – Kebijakan kontroversial meletup usai beredar informasi aksi demonstrasi besar-besaran bertajuk ALIANSI BITUNG BERGERAK yang akan digelar pada 03 September 2025, Pukul 09:00Wita. Pemerintah Kota Bitung, melalui instruksi langsung Wali Kota Hengky Honandar, memutuskan meliburkan seluruh aktivitas belajar mengajar dari tingkat TK, SD, SMP hingga SMA/SMK.
Aksi ALIANSI BITUNG BERGERAK rupanya membuat Wali Kota Bitung Hengky Honandar kehilangan nalar sehat. Bukannya bersikap negarawan, ia justru mengambil langkah konyol dengan mengintuksikan meliburkan seluruh sekolah. Selasa, (02/09/2025)
Instruksi absurd itu beredar di grup-grup sekolah: siswa diminta belajar dari rumah secara daring, dilarang keluar rumah selama jam sekolah, dengan dalih “mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan.” Kebijakan yang lebih mirip produk kepanikan ketimbang analisa seorang pemimpin.
Ketua PWOIN Sulut Reza Lumanu merespon tanpa basa-basi menampar logika pemerintah, “Demo penyampaian aspirasi di muka publik adalah hak rakyat, dijamin undang-undang! Ini bukan tsunami, bukan gempa bumi, apalagi letusan gunung berapi yang bisa meliburkan pendidikan. Apa dasarnya sekolah harus berhenti hanya karena rakyat bersuara?”
Langkah wali kota dinilai sebagai bukti ketakutan berlebihan, mental pemimpin yang rapuh, dan kebijakan kelas rendahan. Alih-alih melindungi warganya, ia justru menjadikan siswa tameng ketakutannya sendiri.
“Anak-anak dipaksa belajar daring gara-gara wali kota panik. Bukan untuk keselamatan, tapi demi menutup rasa takut pemerintah menghadapi aspirasi rakyat,” ujar Reza yang muak dengan kebijakan ngawur tersebut.
Keputusan ini bukan hanya memalukan, tapi juga menelanjangi wajah pemerintahan Kota Bitung yang alergi kritik, anti aspirasi, dan miskin keberanian. Saat rakyat turun ke jalan membawa suara keadilan, pemerintah malah gemetar, menutup sekolah, dan bersembunyi di balik instruksi konyol.
Langkah wali kota ini dipandang sebagai bentuk kepanikan yang memperlihatkan ketidakmampuan membedakan antara dinamika demokrasi dengan situasi darurat. Alih-alih menguatkan iklim demokrasi, keputusan meliburkan sekolah justru memperlihatkan wajah pemerintah yang anti kritik dan rapuh menghadapi gelombang aspirasi rakyat. Kebijakan meliburkan sekolah karena demo hanyalah potret ketidakdewasaan pemimpin, gagap, panik, dan kehilangan arah. Rakyat bersuara, tapi yang gemetar justru pemerintah. (POLAPA)














Komentar