ANALISASIBER.COM, Garut, 19 Desember 2024, FAJAR NUSANTARA, GARUT – Situasi di Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Garut semakin memanas. Mahasiswa kampus ini menyoroti dugaan praktik nepotisme dan pengelolaan kebijakan yang dinilai tidak transparan. Mereka mengungkapkan bahwa keputusan-keputusan penting di kampus lebih banyak ditentukan oleh “rapat keluarga” dibandingkan oleh aturan resmi Muhammadiyah.
Kondisi ini tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa, tetapi juga oleh staf dan dosen. Banyak dari mereka mengeluhkan kebijakan yang dianggap menyimpang dari peraturan Muhammadiyah, terutama terkait dengan sistem manajemen perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) serta Standar Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Kebijakan yang tidak sesuai ini menambah ketidakpuasan di kalangan civitas akademika, yang merasa hak-hak mereka diabaikan.
Kepemimpinan yang Dipertanyakan
Permasalahan ini disebut-sebut berakar dari sejarah berdirinya STAIM Garut. Sejak awal, pendirian kampus ini melibatkan berbagai pihak, termasuk mitra kerja dan individu yang memberikan dukungan finansial serta penyediaan lahan. Besarnya keterlibatan para mitra ini diduga berimbas pada pengaruh mereka terhadap kebijakan kampus.
Salah satu pernyataan kontroversial datang dari Dr. H. Maman Sutarman, M.M.Pd, yang menjabat sebagai ketua STAIM. Dalam audiensi pertama bersama mahasiswa, ia menyatakan, “Walaupun perguruan tinggi ini milik amal usaha Muhammadiyah (AUM), tetapi dari segi finansial, sebagian besar berasal dari saya. Maka secara de facto, kampus ini selama saya masih hidup tidak akan diberikan kepada orang lain.” Pernyataan ini menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan mahasiswa.
Maman Sutarman diketahui menjabat sebagai ketua STAIM melebihi batas dua periode yang ditetapkan oleh peraturan Muhammadiyah. Ia bertahan selama dua periode ditambah tiga tahun, dan jabatan ketua kemudian diteruskan oleh Jajang Herawan, S.H., M.H., yang merupakan menantunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan praktik nepotisme di lingkungan kampus.
Protes Mahasiswa
Selama satu tahun kepemimpinan Jajang Herawan (2023-2027), mahasiswa menilai tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan kampus. Kehadiran Jajang di lingkungan akademik sering dipertanyakan, dan beberapa unsur pimpinan kampus dari bidang akademik, administrasi, dan kemahasiswaan dilaporkan mundur dari jabatannya.
Mahasiswa mengeluhkan banyak hal, mulai dari pungutan liar pada beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP), dana kemahasiswaan yang tak kunjung diberikan, hingga minimnya fasilitas kampus seperti perpustakaan dan sarana prasarana. Situasi ini diperparah dengan tunggakan gaji staf dan dosen yang mencapai 3 hingga 5 bulan.
IMM Siap Melawan Nepotisme
Merespons kondisi tersebut, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) turut bersuara. Ketua IMM, Rosyad Sholeh, Fahmi Afrilana, menegaskan bahwa IMM tidak akan tinggal diam jika Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) terus dirusak. “Kami telah melakukan dua kali audiensi, tetapi tidak ada hasil atau upaya dari lembaga untuk memperbaiki. Mahasiswa dan IMM sebagai organisasi otonom Muhammadiyah harus turun tangan,” tegas Fahmi.
Ia menambahkan, “Jika praktik nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan terus berlanjut, IMM tidak akan segan-segan mengambil langkah tegas.” Pernyataan ini menunjukkan keseriusan IMM dalam memperjuangkan hak-hak mahasiswa dan memastikan prinsip-prinsip Muhammadiyah tetap terjaga.
Tuntutan Mahasiswa
Mahasiswa menuntut adanya perbaikan sistem tata kelola di STAIM Garut. Mereka mendesak agar kebijakan yang diambil sejalan dengan aturan yang berlaku di Muhammadiyah, khususnya dalam hal periodisasi kepemimpinan dan pengelolaan keuangan. Harapan mereka adalah agar pengelolaan STAIM Garut kembali sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai Muhammadiyah.
Hingga saat ini, pihak STAIM Garut belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan mahasiswa dan IMM. Mahasiswa berharap pimpinan Muhammadiyah Pusat dapat turun tangan untuk mengatasi masalah ini dan mengembalikan marwah Muhammadiyah di kampus.
(Dea)
Tidak ada komentar