Kasus dugaan korupsi CSR BI dan OJK telah menyeret dua anggota DPR RI, Heri Gunawan dan Satori, sebagai tersangka. KPK menemukan adanya aliran dana miliaran rupiah dalam kasus ini.
Tapsel, Sumut: analisasiber.com, – Mencuatnya kasus dugaan tindak pidana korupsi atas penerimaan gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), terkait dengan pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) di Bank Indonesia dan Atoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi perhatian nasional. Dana CSR atau yang lebih dikenal dengan dana Bantuan Sosial merupakan hak masyarakat Indonesia, yang lebih mirisnya dana bantuan sosial BI dan OJK ini telah dimanfaatkan secara pribadi dan bersama-sama oleh wakil rakyat Komisi XI yang ada di Gedung DPR RI dengan menggunakan Yayasan-Yayasan yang ditunjuk oleh anggota Dewan itu sendiri, peristiwa ini telah mengkhianati kepercayaan rakyat Indonesia.
Terkait permasalahan ini, Baron Harahap selaku ketua umum GEMMA PETA INDONESIA yang tergabung dalam Aliansi Lintas Organisasi Masyarakat Dan Himpunan Mahasiswa Indonesia (ALO MA HAMI) mengungkapkan kekesalannya atas perbuatan anggota dewan Komisi XI DPR RI kepada awak media pada sabtu, 23 Agustus 2025. “Seyogyanya Wakil rakyat memikirkan nasib rakyat Indonesia bukan memikirkan kepentingan pribadi untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompoknya.” Ujarnya dengan geram.
Baron Harahap juga menyampaikan bahwa Masyarakat Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan berkomunikasi dengannya, diduga adanya aliran dana CSR BI dan OJK ke Yayasan Keluarga Pasaribu begitu juga dugaan adanya aliran dana CSR Tambang Emas Martabe yang ada di Tapanuli Selatan ke Yayasan tersebut. Baron Juga mengungkapkan kemungkinan besar ALO MA HAMI akan melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor KPK untuk mendesak KPK memeriksa Gus Irawan Pasaribu terkait dana CSR BI dan OJK sebagaimana dikutip dari laman wikipedia, Gus Irawan Pasaribu terdaftar sebagai anggota biasa di komisi XI DPR RI periode 2019-2024
“Iya, masyarakat Tapsel dan sidimpuan menyampaikan kepada kami di ALO MA HAMI, dugaan adanya aliran dana CSR BI, OJK dan Tambang Emas Martabe yang ada di Tapsel ke yayasan keluarga Pasaribu, mereka (masyarakat Tapsel dan Sidimpuan) meminta kami untuk menyurati dan melakukan unras di depan kantor KPK agar KPK memeriksa yayasan tersebut.” Ungkap Baron Harahap. (22/8/2025).
Perkara ini bermula dari laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (LHA PPATK) dan kemudian juga dikaitkan dengan atau dikuatkan dengan pengaduan masyarakat, Hal ini disampaikan oleh PLT Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Bapak Asep Guntur Rahayu pada Konferensi Pers Penetapan tersangka tindak pidana korupsi, dugaan penerimaan gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang atau TPPU dana CSR BI dan OJK, kamis 7 Agustus 2025 sekira pukul 19.05 Wib.
“Jadi ada masyarakat di daerah yang mengadu kepada kami KPK di sini bahwa ada beberapa bantuan sosial itu dirasa tidak sesuai, tidak sesuai dengan apa yang seharusnya, kalau nama programnya, Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) pada Bank Indonesia dan Penyuluh Jasa Keuangan (PJK), itu yang di Otoritas Jasa Keuangan, Pemeriksaan Anggarannya dari tahun 2020 sampai dengan 2023.” Ujar PLT Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Bapak Asep Guntur Rahayu di gedung Merah Putih KPK Jakarta.
Dalam Konferensi Pers tersebut, PLT Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK membeberkan kontruksi perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang terkait dengan pengelolaan dana bantuan social (CSR) Bank Indonesia dan OJK, bahwa Komisi XI DPR RI dalam melaksanakan tugas dan wawenangnya memiliki beberapa mitra kerja, diantaranya adalah Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Khusus terhadap Bank Indonesia dan OJK, Komisi XI memiliki kewenangan tambahan, yaitu mewakili DPR memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran masing-masing lembaga tersebut setiap tahunnya.
“Jadi ada anggaran untuk lembaga ini, untuk BI kemudian juga untuk OJK, nanti Komisi XI ini anggaran yang untuk BI maupun untuk OJK itu dirapatkan, seperti itu, kemudian dievaluasi dan lain-lain, kemudian disetujui oleh Komisi XI.” Terangnya.
Sebelum memberikan persetujuan atas anggaran yang diajukan BI dan OJK, Komisi XI DPR RI terlebih dahulu membentuk panitia kerja (Panja) guna membahas rapat anggaran, kemudian dilihat bagaimana rencana pengeluarannya dan rencana pendapatan dari kedua lembaga tersebut. Setelah rapat kerja Komisi XI DPR RI bersama BI dan OJK pada bulan November di setiap tahunnya, panja melaksanakan rapat tertutup dengan Pimpinan BI dan OJK.
“Jadi dengan adanya panja tersebut, kemudian anggaran yang diajukan oleh BI maupun OJK dibahaslah dalam satu rapat, rapat kerja anggaran seperti itu, bulan November di setiap tahunnya, Setelah rapat kerja Komisi XI DPR RI bersama BI dan OJK kemudian Panja melaksanakan rapat tertutup dengan Pimpinan BI dan OJK.” Ungkapnya
Selanjutnya dalam rapat tertutup tersebut, lanjut Asep Guntur Rahayu selaku PLT Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, terdapat kesepakatan antara lain ;
(1).BI dan OJK memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR RI, dengan alokasi kuota dari BI sekitar 10 kegiatan per tahun dan OJK sekitar 18-24 kegiatan per tahun. (2). Dana program sosial diberikan kepada anggota Komisi 11 DPR RI melalui yayasan yang dikelola oleh anggota DPR RI Komisi XI.
“Jadi tidak langsung uang itu diberikan kepada perorangan anggota Komisi XI, tetapi diberikan melalui yayasan, Artinya anggota Komisi XI kemudian bisa menunjuk yayasan yang sudah ada, karena banyak misalkan yayasan sosial dan lain-lain yang ada bisa ditunjuk anggota Komisi XI, misalkan di daerah pemilihannya, di dapilnya, atau bisa juga yayasan yang dimilikinya, yang khusus menampung uang untuk kegiatan sosial tersebut.” Terangnya.
KPK menyelidiki kasus ini setelah Satori, seorang tersangka, menyebut sebagian besar anggota Komisi XI menerima dana tersebut.
Total dana yang diduga diselewengkan mencapai Rp 12,52 miliar, bersumber dari BI, OJK, dan mitra kerja komisi.
Selain Satori, anggota DPR RI dari Gerindra, Heri Gunawan, juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Tak hanya itu, dugaan keterlibatan Gus Irawan turut menerima dana CSR BI dan OJK jadi perbincangan masyarakat Tapanuli Selatan sehingga sorotan publik juga tertuju pada sejumlah aset usaha milik Gus Irawan, termasuk bisnis galon minyak atau SPBU, yang memunculkan spekulasi apakah sumber kekayaannya berkaitan dengan posisi strategis sewaktu Ia di Komisi VII DPR RI yang membidangi energi dan migas.
Harta Kekayaan Gus Irawan diperkirakan Capai Rp 50 Miliar, hal ini di ketahui dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukkan, total kekayaan Gus Irawan mencapai Rp 49,97 miliar. Rinciannya meliputi :
-Tanah dan bangunan: Rp40,39 miliar
-Kendaraan mewah: Rp3,26 miliar (Toyota Alphard, Lexus LX 570, Toyota Fortuner)
-Harta bergerak lain: Rp1,39 miliar
-Surat berharga: Rp112 juta
-Kas dan setara kas: Rp4,79 miliar
Jumlah tersebut memicu tanya di tengah publik, terutama saat ia disorot dalam dugaan korupsi dana sosial dan adanya lonjakan nilai harta kekayaan dari tahun ke tahun yang signifikan.
Baron Harahap ketua umum GEMMA PETA INDONESIA dengan beberapa Organisasi Kemasyarakatan dan adek-adek mahasiswa telah bersatu dalam Aliansi Lintas Organisasi Masyarakat dan Himpunan Mahasiswa Indonesia (ALO MA HAMI) akan melakukan gerakan untuk mengawal dan mendesak KPK untuk mengusut tuntas kasus CSR BI dan OJK ini
“kasus ini akan kita kawal dan kasus ini menjadi pintu masuk untuk meminta tambang emas martabe membuka siapa-siapa saja penerima CSR Tambang martabe dari tahun 2010 sampai sekarang, diduga yayasan keluarga menerima CSR tersebut.” ucap Baron Harahap salah satu yang tergabung dalam ALO MA HAMI. Jum’at 22/8/2025
Baron Harahap juga meminta KPK transparan dalam menangani kasus CSR BI dan OJK, karena nama Gus Irawan semakin disorot setelah pengakuan tersangka Satori (Fraksi Nasdem) dan Heri Gunawan (Fraksi Gerindra) yang menyebut hampir semua anggota Komisi XI menerima dana CSR.
“KPK harus berani membongkar jaringan ini tanpa tebang pilih, membuka kasus ini dengan gamblang ke publik, dan tidak ada penghapusan tindak pidana dengan mengembalikan kerugian negara dan Jangan sampai ini jadi contoh buruk bagi Sumatera Utara, yang sering disebut rawan politik uang,” ujar Baron Harahap.
Publik menunggu, dan KPK tengah diuji. Apakah integritas lembaga antikorupsi ini cukup kuat menghadapi tekanan politik, atau justru berhenti di tengah jalan? (Fii Siregar)
Komentar